JALAN-JALAN JENIUS DI GOLDEN LAND

Banyak yang heran dan bingung kenapa gue memilih untuk eksplorasi Myanmar yang saat ini statusnya masih risk country dan travel warning. Ada yang khawatir dengan diri gue yang terlalu risk taker soal traveling, atau entah karena menurut mereka Myanmar gak deserve dan gak worth it untuk dikunjungi saat ini. Seperti dilansir oleh berbagai media massa dan media digital, kondisi Myanmar yang dikudeta oleh junta militer sejak Februari 2021 menjadi sangat kacau dan mencekam di seluruh area Myanmar. Dampak dari kudeta tersebut banyak merugikan pendapatan negara Myanmar tersebut, di antaranya pembangunan terhambat karena telah dipublikasikan oleh FATF sebagai negara yang masuk dalam kategori Blacktlist, artinya negara tersebut masuk ke dalam high risk. Salah satu penyebabnya adalah banyak negara yang mengecam Myanmar atas aksi kudeta tersebut. Selain itu, perekonomian Myanmar juga terkena imbasnya dengan menjadi salah satu list travel warning, sehingga jumlah wisatawan makin berkurang untuk mengunjungi negara tersebut, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.


Imajinasi gue tentang Myanmar 😍

Bermodalkan hasil riset bahwa waktu terbaik untuk mengunjungi Myanmar adalah di akhir tahun dengan kondisi musim kemarau dingin, artinya tidak terjadi hujan tapi suhu udaranya dingin dan juga masih aman untuk dikunjungi untuk beberapa kota tertentu. Bulatlah tekad gue mengunjungi The Golden Land bersama 3 orang temen gue. Meskipun terbilang cukup aman bagi foreigner di Myanmar, kami perlu #jalan2jenius dengan menyiapkan travel insurance sebagai upaya mitigasi atas cap travel warning bagi negara tersebut.

Kamis 21 Desember 2023, akhirnya perjalanan ke Myanmar benar-benar di depan mata. Bersama dengan dua orang travelmates gue, kami memulai perjalanan dengan transit di Malaysia. Pilihan ini sangat tepat karena dengan #jalan2jenius kami mendapatkan harga tiket yang lumayan murah. Gue pribadi membeli tiket pesawat dengan pembayaran menggunakan Kartu Kredit Jenius. Caranya gampang banget karena cukup connect ke aplikasi OTA atau situs resmi maskapai. Karena transit cukup lama di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), yaitu sekitar 9 jam. Kami akhirnya memutuskan untuk mengisi perut di terminal 1 KLIA dengan memilih restaurant fast food agar gak ribet dalam sistem payment. Bener aja, di restaurant tersebut menyediakan sistem self order dan pembayarannya bisa langsung menggunakan kartu kredit yang berlogo VISA. Cara pakainya pun tinggal tap ke payment machine jadi lebih aman karena gak perlu input password lagi. Sejak ada Jenius traveling jadi semakin praktis!


Secuplik Kuala Lumpur dari udara

Dengan menaiki maskapai ternama dari negeri Jiran, kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam 40 menit. Karena waktu Myanmar lebih lambat 1 jam 30 menit dari Malaysia, maka secara jadwal kedatangan hanya sekitar 1 jam 15 menit. Yang unik dari negara Myanmar adalah perbedaan zona waktu yang berada di bawah GMT/UTC +6.30. Jadi perbedaan waktu dengan Jakarta sendiri mengalami perlambatan 30 menit dari waktu Jakarta (WIB). Hmm cukup unik ya. 


Sesampainya di Yangon International Airport, kami langsung menukar currency dari USD ke MMK, kemudian membeli simcard lokal buat kebutuhan komunikasi selama di Myanmar. Untungnya semuanya tersedia di airport jadi gak perlu mikir lagi untuk kebutuhan lifestyle selama di Myanmar. Hal pertama yang ingin kami lakuin di Myanmar adalah mencicipi kuliner khas Myanmar di salah satu warung rekomendasi dari temen kami. Karena jarak dari airport ke warung tersebut cukup jauh, sehingga perlu kendaraan untuk mencapai tempat tersebut. Sebelumnya kami udah riset bahwa transportasi umum yang layak digunakan dari airport menuju kota Yangon adalah YBS (Yangon Bus Station). Tapi setelah menunggu kurang lebih satu jam, akhirnya kami memilih untuk menggunakan jasa transportasi online saja, yaitu grab taxi. Berbeda dengan layanan grab di Indonesia, grab di Myanmar, khususnya di kota Yangon hanya menyediakan jasa taxi.


Situasi jalanan di Old Bagan

Ada beberapa kendala saat naik taxi, yaitu komunikasi dengan driver taxi karena rupanya cukup sulit untuk menggunakan bahasa Inggris. Seperti yang kita tahu kalau di Myanmar punya bahasa ibu sendiri, yaitu Burmese, bahkan punya tulisan sendiri, yaitu Burma. Tadinya gue berniat untuk membayar grab taxi dengan tunai sekaligus mengubah pecahan duit kami yang nilainya cukup besar, tapi karena kami ngejar waktu akhirnya mengubah payment method ke online saja. Untungnya gue udah menambahkan Kartu Kredit Jenius dengan payment method pada aplikasi Grab, jadi cukup sat set saat melakukan pembayaran grab selama di Myanmar. Nilai currency yang digunakan pun real time jadi dijamin gak bakal boncos. Satu lagi yang bikin gue happy menggunakan Kartu Kredit Jenius adalah semua jenis transaksi di luar negeri bisa mendapatkan Double Yeay Point, yang mana tiap transaksi apapun gue mendapatkan point dua kali lipat dari biasanya. Proper banget buat gue yang lagi ngejar krisflyer biar bisa dapet benefit terbang dengan pesawat Singapore Airlines business class dengan cuma-cuma. 😁


Akhirnya taxi kami datang tepat di titik penjemputan setelah lumayan struggle untuk menjelaskan titik penjemputan kami karena kendala bahasa tadi. What wait! Gue spechless sejenak pas lihat taxi kami. Rupanya sangat berbeda dengan taxi-taxi yang ada di Indonesia. Taxi dengan model mobil sedan tahun 80-an lebih tepatnya. Sejak sat itu gue berpikir bahwa Myanmar jauh dari kehidupan modern. Uniknya lagi, posisi setir berada di sebelah kanan dengan mobil berjalan di sebelah kanan. Bener-bener sebuah culture shock yang sebelumnya gak kebayang bakal gue ngerasain di kota ini. Lebih parahnya lagi, sepanjang perjalanan gue ngerasain taxi yang gue tumpangi ugal-ugalan, begitu pun dengan kendaraan lain yang berpapasan. Gue ingin menanyakan hal ini kepada driver taxi tapi takut tersinggung, akhirnya gue coba mencari informasi via search engine. Informasi yang gue dapatkan adalah sebuah fakta yang mengejutkan kalau di seluruh area Yangon terdapat aturan larangan buat mengendarai sepeda motor! Alasannya karena tingginya angka kecelakaan yang disebabkan oleh sepeda motor sehingga hal tersebut dilarang. Tambah lagi culture shock gue yang baru terhadap kota ini. Sekarang gue jadi tahu alasannya kenapa di aplikasi Grab kota ini hanya ada grab taxi.


Vibes 80’s di depan Gawdawpalin Temple 

Sampailah kami di warung makan yang menjadi tujuan pertama kami untuk mengisi perut yang sudah lapar sedari tadi. First impression gue cukup nyaman dengan suasana warung makan di bawah pohon rindang di tepi jalan arteri. Presentasi makanannya juga lumayan menggiurkan, sama seperti hidangan makanan Indonesia pada umumnya. Tapi pada saat suapan pertama gue berasa mual dengan aroma kari dari makanan. Rupanya gue gak sepenuhnya cocok dengan makanan Myanmar, pikir gue. Padahal kari adalah salah satu jenis makanan favorit gue. Akhirnya gue memilih untuk makan jajanan pasar yang bertengger di depan warung makan. Jajanan pasar yang tergolong enak dan murah dengan tekstur mirip dengan kue katirisala khas Bugis di Indonesia.


Green tea salad, makanan favorit di Myanmar πŸ˜™

Habis dari rumah makan kami langsung ke hotel tempat kami menginap yang sungguh tak disangka tak dinyana sangat mewah dengan harga yang cukup murah. Lagi-lagi kami berpikir #jalan2jenius dengan pesen hotel menggunakan Kartu Kredit Jenius via Online Travel Agency (OTA). Seperti yang gue bilang bahwa cukup sulit untuk mengendarai transportasi umum di Yangon, akhirnya kami memilih untuk menggunakan transportasi grab tax lagi dengan payment method Kartu Kredit Jenius karena semudah itu untuk melakukan pembayaran dan pastinya gue ngejar double yeay point


Kami gak salah memilih hotel yang estetik nan strategis selama di kota Yangon. Dari hotel ini kami bisa menyaksikan eksotis matahari tenggelam dan terbit di tepi Yangon River. Hotel bintang tiga dengan rasa bintang lima ini mempunyai  desain kapal pesiar yang mewah. Namanya aja Luxury Yatch Hotel. Ini hotel rekomendasi gue buat kalian jika ingin berkunjung ke Yangon.


Salah satu potret terbaik sunrise Old Bagan 😍 

Tiga hari di Yangon buat gue deg-degan sekaligus happy. Deg-degan karena informasi dari beberapa blog kalau di Yangon bakal banyak tindakan scamming, jadi harus well safe and care. Apalagi kondisi sekarang Myanmar masih dalam keadaan konflik. Alhamdulillah hal itu gak terjadi pada kami selama di Yangon. Gue justru kagum dengan penduduk di Yangon karena gue merasakan keramahan yang luar biasa oleh penduduk lokal di kota ini, khususnya saat mampir ke destinasi wisata, baik landmark maupun kuliner. Gue harus akui hospitality di kota ini sangat deserve dibandingkan beberapa negara Asia Tenggara lain yang pernah gue kunjungi.


Percakapan di lapak buku bekas 😊

Berbicara tempat wisata, tempat-tempat dengan label must visit di Yangon cukup banyak, terutama kalau suka budaya dan sejarah. Myanmar dengan kurang lebih 90% penduduknya beragama Buddha, jadilah banyak menemukan pagoda yang cukup elok menghiasi kota dengan warna emasnya. Itulah kenapa Myanmar mempunyai salah satu julukan yang khas, the Golden Land. Pagoda terbesar di Myanmar yang cukup termasyhur di seluruh dunia adalah Shwedagon Pagoda. Informasi yang gue dapat dari salah seorang pengunjung bahwa pagoda ini merupakan pagoda yang dianggap paling suci oleh masyarakat Myanmar karena menyimpan relik Buddha terdahulu. Hal yang gue takjub saat masuk ke pagoda ini adalah gue serasa masuk masjid karena budaya untuk masuk ke pagoda ini diwajibkan menggunakan sejenis sarung dan melepas alas kaki.


Shwedagon Pagoda dalam malam

Berbicara masalah sarung, gue ingin memberikan informasi yang cukup penting bagi kalian yang suka mengulik budaya tempat yang kalian kunjungi. Jadi, sarung merupakan salah satu pakaian adat penduduk Myanmar yang disebut Longyi. Sama seperti di Indonesia, Longyi juga digunakan oleh semua kalangan dan gender. Longyi untuk pria disebut paso sedangkan untuk wanita dinamakan htamain. Jadi jangan heran saat kalian menelusuri jalan-jalan di sepanjang kota Yangon gak jarang berjumpa dengan orang yang menggunakan sarung, bahkan ke tempat pusat perbelanjaan sekalipun. 


Longyi yang kita jumpai di mana-mana

Street photography di Downtown Yangon

Selain Longyi, masyarakat Myanmar juga mempunyai kebiasaan unik yang berhubungan tentang kecantikan. Siapa sangka di Myanmar ada budaya turun temurun menggunakan bedak alami yang bikin gue heran saat di Yangon. Yap, orang Myanmar menyebutnya Thanaka Layaknya bedak tabur yang ditempel di muka dan kelihatan  yang hanya ditempel di pipi, Thanaka dipercaya dapat melindungi arah dari sinar matahari a.k.a pengganti sunscreen. Bedak alami yang terbuat dari batang kayu khusus disajikan dengan cara ditumbuk. Informasi yang gue dapat kalau Thanaka tersebut mempunyai efek yang dingin di wajah.


Potret bocah pakai Thanaka ❤

Dari Yangon ke menuju ke arah utara untuk mengeksplorasi Old Bagan dengan mengendarai bus selama kurang lebih 8 jam. Karena kami berangkat malam, sampai di Bagan kami langsung menikmati sunrise yang surreal dan membuat gue ingin mengucap syukur. Satu dari bucket list gue tercapai. Sejak ditetapkan sebagai warisan UNESCO beberapa tahun silam, gue makin tertarik dengan Old Bagan dengan keeksotisan tanahnya yang dikelilingi ribuan stupa dan candi. Jangan heran saat sunrise dan sunset kalian bakal terpelongo dengan semburat cahayanya yang bikin setiap tempat di Bagan serasa menenangkan. Selama di sana gue beberapa kali merasa punya koneksi tersendiri dengan ambience yang ditawarkan kota sejarah di Mandalay ini. Dari alamnya yang begitu menawan sampai ke penduduknya dengan kepuasan atas hospitality-nya.


Berburu spot ala Nicholas Saputra πŸ˜‚

Dari tadi gue memuji Old Bagan karena memang itulah yang gue rasakan selama di sana. Di tulisan ini gue gak menyebut satu per satu titik apa aja yang gue kunjungi selama di sana, karena setiap tempat begitu magis buat gue. Mungkin gue akan tulis di halaman lain blog gue ini seputar informasi titik yang must visit untuk gak dilewatkan di kota seribu kuil ini. Jadi jangan kecewa dulu ya. πŸ˜‰

Old Bagan I’m in love ❤

Meski belum bisa memuaskan hasrat gue denga kota sejarah ini, tapi karena waktu kunjungan maksimal tiga hari sudah habis, akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kota provinsi Mandalay. Selama lima jam perjalanan ke Mandalay gue menghabiskan waktu untuk mengisi jurnal handphone gue dengan kesan gue selama di Old Bagan. Sesekali menggunakan kamera untuk mengabadikan momen selama perjalanan. Sampai akhirnya tiba di Mandalay, dari bus terminal kami berencana menggunakan jasa grab tadi untuk mengunjungi salah satu tema house populer di kota Mandalay. Saat buka aplikasi tiba-tiba gue kaget karena pilihan transportasi yang tersedia hanya tuk tuk. Kami pun memutuskan untuk mencoba jasa aplikasi tersebut karena lebih murah dibandingkan tanpa aplikasi. Tambah lagi dengan metode payment yang praktis dengan adanya Jenius. Sudah berkali-kali gue mention Kartu Kredit Jenius karena sejak ada Jenius urusan transportasi kami selama di Myanmar cukup lancar. Rupanya nyaman juga naik tuk tuk sambil menikmati suasana kota Mandalay sepanjang jalan.


Ananda Temple dan bulan 😍

Selain wisata kuliner, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi Mahamuni Temple yang menjadi salah satu kunjungan wajib wisatawan jika berada di kota ini. Di tempat ini kalian bisa berbelanja sambil menikmati kuil karena banyak pedagang yang berkumpul menjajakan dagangannya pada jalan menuju ruang utama temple. Ada satu pemandangan di kota ini yang berbeda dengan Yangon. Kalau di Yangon kita tidak pernah jumpai kendaraan motor, d kota ini sebaliknya. Bahkan mirip di Jakarta atau kota-kota besar Indonesia lainnya jumlah pengendara motor lebih banyak daripada pengendara mobil.


Street photography favorit di Old Bagan 

Mandalay menjadi kota terakhir yang kami kunjungi di Myanmar. Sebelum gue pamit, gue mau bilang kalau Myanmar tidak se-seram yang dibayangkan orang-orang untuk dikunjungi. Selama negara tersebut masih membuka pintu bagi foreigner untuk berwisata, maka jangan takut untuk mencari experience yang berbeda di negara seribu pagoda ini dengan #jalan2jenius. Selain banyak challenge, banyak kemudahan juga yang bakal kalian temuin selama di sana, khususnya soal transportasi dan akomodasi yang sangat di-support oleh Jenius. Habis ini gue bakal cerita keseruan gue #jalan2jenius di negeri Gajah Putih. Sampai ketemu di tulisan gue selanjutnya ya!


Monk dalam bayang-bayang Mandalay




Komentar

Postingan populer dari blog ini

LULUS!

Sesuatu di Jogja